Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno berkesempatan untuk praktik membuat kuliner khas Banyumas nopia mulai dari proses pengulenan hingga pembakaran di Kampoeng Nopia, Desa Wisata Pekunden, Banyumas, Jawa Tengah.
Menparekraf Sandiaga memperlihatkan mimik wajah yang sangat antusias saat menuju lokasi demo masak nopia. Menurutnya menarik karena cara memasak kuliner khas itu yang masih tradisional.
Setibanya Menparekraf Sandiaga di Kampoeng Nopia, Desa Wisata Pekunden, Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (11/6/2023) dua Juru Masak yang akan mendampingi proses pengadonan, Arboni dan Mangun langsung menyambut kedatangan Menparekraf.
Menparekraf Sandiaga kemudian memakai sarung tangan supaya adonan nopia tetap terjaga kebersihannya. Menparekraf kemudian mengaduk adonan yang akan dijadikan kulitan mino yang terbuat dari tepung terigu, gula pasir, minyak sayur, dan vanili. Sementara untuk isiannya dari campuran gula jawa dan air.
Lalu, adonan kulitan dibentuk bulat dan diberi isian di dalamnya sehingga membentuk seperti telur. "Oke gampang juga ya," kata Menparekraf Sandiaga sembari menunjukkan hasil karyanya.
Seiring dengan minat yang tinggi, produk kuliner nopia tidak hanya memiliki rasa gula merah saja, tetapi lebih bervariatif seperti cokelat, pandan, dan lainnya. Sehingga pembeli bisa memilih sesuai seleranya masing-masing.
Usai menguleni adonan, Menparekraf kemudian bergerak menuju tempat pembakaran nopia. Adonan nopia yang yang sudah dibulatkan itu ditempelkan di dinding tungku yang disebut genthong, kemudian dibakar dengan kayu bakar sampai matang.
Menparekraf yang ikut serta menempelkan nopia ke dinding genthong pun terkejut, lantaran nopia yang ditempelkannya berubah bentuk akibat ia terlalu menekan adonan nopia tersebut. "Jadinya menyong. Tapi kalau enggak ditekan khawatir jatuh," kata Menparekraf sambil tertawa.
Nopia sendiri adalah jajanan khas Banyumas yang terdiri dari dua ukuran. Yang berukuran kecil disebut masyarakat setempat dengan mino. Sementara untuk yang berukuran normal disebut nopia.
Kuliner ini bentuknya memang menyerupai bakpia khas Yogyakarta. Namun yang membedakan adalah pada proses akhirnya. Kalau nopia masih dibuat secara tradisional yakni dibakar di dalam genthong, sedangkan bakpia dioven.
"Dan kalau kita melihat itu di Jepang ada mochi. Di sini ada nopia mino. Kalau dikemas dengan baik ini bisa menjadi satu keunggulan produk ekonomi kreatif yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat," kata Sandiaga.
Menurut salah seorang juru masak napia, Yanto, dalam satu genthong bisa membakar antara 800 hingga 900 nopia. Untuk sekali bakar memerlukan waktu kurang lebih 30 menit. Sehingga jika dikalkulasi dalam sehari bisa menghasilkan 30 kg nopia.
Satu kotak nopia biasanya berisikan 10 buah yang dapat dibeli dengan harga Rp15.000. Sementara untuk mino biasanya dijual per kg dan satu kilogramnya sebesar Rp30.000.
"Dan mino ini atau nopia ini bisa kuat disimpan sampai dua bulan lebih,” ujarnya.